Oleh: Rai Inamas Leoni
“Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan berakhir berapa menit lagi. Wina harus segera membawa buku tugas teman-temannya ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan wakil ketua kelas membuatnya sibuk seperti ini. Gubrak…. Buku-buku yang dibawa Wina jatuh semua. Orang yang menabrak entah lari kemana. Jangankan menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata apa ya...” rutuk Wina. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Wina merapikan terdengar langkah kaki yang datang menghampirinya.
“Kasian banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemoh seorang cowok dengan senyum sinis. Sejenak Wina berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba melihat orang yang berani mencemohnya. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Wina benci banget sama cowok ini. Seumur hidup Wina nggak bakal bersikap baik sama cowok yang ada di depannya ini. Lalu Wina mulai melanjutkan merapikan buku tanpa menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya tidak menanggapi. Biasanya kalau Wina terpancing dengan omongannya, perang mulut pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang datang melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen gue yang jelek ini. Tapi apa daya udah keburu bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok tersebut sambil menekan kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo berubah.” gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu cowok itu membalikkan badannya, Wina yang sudah selesai membereskankan buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Wina mulai mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan tuh sakit!!” ejek Wina sambil berlari membawa buku-buku yang tadi sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara Wina pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Wina….”
Wina menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dari kejauhan Amel teman baiknya sejak SMP sedang berlari kearahnya. Dengan santai Wina membalikkan badannya berjalan mencari motor matic kesayangannya. Ia sendiri lupa dimana menaruh motornya. Wina emang paling payah sama yang namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk mencari motor, Amel malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woe non, budeg ya? Nggak denger teriakan gue. Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong. Ciri khas cewek putih tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Mel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang kaki cowok ampe tuh cowok permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” jelas Amel panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang kakinya, masak segitu parahnya?” Wina benar-benar nggak nyangka. Masa sih keras banget? Tuh cowok ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Alex lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.” bantah Wina membela diri.
Sejenak Amel terdiam, lalu berlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan SMP. Dulu banget. ” ujar Amel polos, tanpa bermaksud mengingatkan kejadian yang lalu. “Lagi pula gue udah bisa nerima kalo Alex nggak suka sama gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak menyurutkan niat para siswa SMA Harapan untuk bergegas pulang ke rumah. Wina sendiri sudah membereskan buku-bukunya. Sedangkan Amel masih berkutat pada buku catatanya lalu sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya kalo nulis jangan kayak kura-kura.” Dengan gemas Wina menjitak kepala Amel. “Duluan ya, Mel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Amel hanya mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Wina membuka pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar. “Eh, sori..” ucap Wina kikuk. Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di depannya, Wina langsung ngasi tampang jutek kepada orang itu. “Ngapaen lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma dilebih-lebihin biar kemaren pulang cepet? Hah? Jadi cowok kok banci baget!!!”
Jujur Alex udah bosen kayak gini terus sama Wina. Dia pengen hubungannya dengan Wina bisa kembali seperti dulu. “Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau cari Amel.” ucap Alex dingin sambil celingak celinguk mencari Amel. “Hey Mel!” ucap Alex riang begitu orang yang dicarinya nongol.
“Hey juga. Jadi nih sekarang?” Amel sejenak melirik Wina. Lalu dilihatnya Alex mengangguk bertanda mengiyakan. “Win, kita duluan ya,” ujar Amel singkat.
Wina hanya benggong lalu dengan cepat mengangguk. Dipandangi Amel dan Alex yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi aneh setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu organ tubuhnya. Biasanya Alex selalu mencari masalah dengannya. Namun kini berbeda. Alex tidak menggodanya dengan cemohan atau ejekan khasnya. Alex juga tidak menatapnya saat ia bicara. Seperti ada yang hilang. Seperti ada yang pergi dari dirinya.
***
Byuuurr.. Fanta rasa stowberry menggalir deras dari rambut Wina hingga menetes ke kemeja putihnya. Wina nggak bisa melawan. Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi ini jam terakhir. Nggak ada yang akan bisa menolongnya sampai bel pulang berbunyi.
“Maksud lo apa?” bentak Wina menantang. Ia nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak rambut Wina. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi, tangan kanannya masih menjambak rambut Wina. Thata langsung memberi satu botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!! Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang yang secara sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun jeruk? Teriak Wina dalam hati. Ia tau kalau cewek di depannya ini bernama Linda. Linda terkenal sesaentro sekolah karena keganasannya dalam hal melabrak orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending Wina diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas dengan Alex. Wait, wait.. Alex??? Jangan-jangan dia biang keladinya. Awas lo Lex, sampe gue tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue rasa, gue nggak ada masalah ama lo.” teriak Wina sambil mendorong Linda dengan sadisnya. Wina benar-benar nggak tahan sama perlakuan mereka. Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni nenek lampir perlu dikasi pelajaran.
Kedua teman Linda, Thata dan Mayang dengan sigap mencoba menahan Wina. Tapi Wina malah memberontak. “Buruan Lin, ntar kita ketahuan.” kata Mayang si cewek sawo mateng.
Selang beberapa detik, Linda kembali mengguyur Wina dengan fanta jeruk. “Jauhin Alex. Gue tau lo berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah nolak Alex. Tapi kenapa lo sekarang nggak mau ngelepas Alex?!!”
“Maksud lo?” ledek Wina sinis. “Gue nggak kenal kalian semua. Asal lo tau gue nggak ada apa-apa ama Alex. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh cowok sinting cuma berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Wina. “Tapi lo seneng kan?” teriak Linda tepat disebelah kuping Wina. Kesabaran Wina akhirnya sampai di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Wina mengenai tepat di hidung Linda. Linda yang marah makin meledak. Perang dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas Wina kalah. Tak perlu lama, Wina sudah jatuh terduduk lemas. Rambutnya sudah basah dan sakit karena dijambak, pjpinya sakit kena tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya cuma keroyokan!” bentak seorang cowok dengan tegas. Serempak trio geng labrak menoleh untuk melihat orang itu, Wina juga ingin, tapi tertutup oleh Linda. Dari suaranya Wina sudah tau. Tapi Ia nggak tau bener apa salah.
“Pergi lo semua. Sebelum gue laporin.” ujar cowok itu singkat. Samar-samar Wina melihat geng labrak pergi dengan buru-buru. Lalu cowok tadi menghampiri Wina dan membantunya untuk berdiri. “Lo nggak apa-apa kan, Win?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Wina dan Alex berada di ruang UKS. Wina membaringkan diri tempat tidur yang tersedia di UKS. Alex memegangi sapu tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipi Wina. Wina lemas luar biasa. Kalau dia masih punya tenaga, dia nggak bakalan mau tangan Alex nyentuh pipinya sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Alex polos.
“Nggak gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawab Wina jutek. Rasanya Wina makin benci sama yang namanya Alex. Gara-gara Alex dirinya dilabrak hidup-hidup. Tapi kalau Alex nggak datang. Mungkin dia bakal pingsan duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Wina dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus kok dia malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala. Emang dia siapa? “ rutuk Wina kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak gue nggak mau jauh-jauh ama Alex. Aduuuhh…
Alex sejenak tersenyum. “Dia tuh cewek yang gue tolak. Jadi dia tau semuanya tentang gue dan termasuk tentang lo” ucap Alex sambil menunjuk Wina.
Wina diam. Dia nggak tau harus ngapain setelah Alex menunjuknya. Padahal cuma nunjuk. “Ntar bisa pulang sendiri kan?” tanya Alex.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak gue terus gue depresi terus lupaen segala sesuatu tentang diri lo. Gue masih paham bener tentang diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.” jelas Alex sejelas-selasnya. Alex pikir sekarang udah saatnya ngungkapin unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!” ancam Wina. Nih orang emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin kepala puyeng, malah dikasi obrolan yang makin puyeng.
“Perasaan gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo tau, gue selalu cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita musuhan, diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak terima. Tapi seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue kesel, dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Alex menanrik nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabannya gue terima.”
Hening sejenak diantara mereka berdua. “Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucap Wina sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kebiasaan Wina, selalu mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau harus ngapaen. Dulu ia nolak Alex karena Amel juga suka Alex. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Alex berbicara tepat saat Wina sudah berada di ambang pintu UKS.
Wina diam tak sanggup berkata-kata. Dilangkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Alex yang termenung sendiri.
***
Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Diliriknya bangku sebelah. Amel belum datang. Wina sendiri tumben datang pagi. Biasanya ia datang 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan penduduk. Semalam Wina nggak bisa tidur. Entah kenapa bayangan Alex selalu terbesit di benaknya. Apa benar Alex pindah sekolah? Kenapa harus pindah? Peduli amat Alex mau pindah apa nggak, batin Wina. “Argggg… Kenapa sih gue mikir dia terus?”
“Mikirin Alex maksud lo?” ucap Amel tiba-tiba udah ada disamping Wina. “Nih hadiah dari pangeran lo.” Dilihatnya Amel mengeluarkan kotak biru berukuran sedang. Karena penasaran dengan cepat Wina membuka kotak tersebut. Isinya bingkai foto bermotif rainbow dengan foto Wina dan Alex saat mengikuti MOS SMP didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera dibacanya surat tersebut.
Dear wina,
Inget ga pertama kali kita kenalan? Pas itu lo nangis gara-gara di hukum ama osis. Dalam hati gue ketawa, kok ada sih cewek cengeng kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga bisa nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas. Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya pelangi. Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo ga mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue tau lo suka Alex tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Amel tersenyum. “Percaya deh, sekarang gue udah nggak ada rasa sama Alex. Dia cuma temen kecil gue dan nggak akan lebih.”
“Thanks Mel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucap Wina tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Amel terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Alex suka sama lo dan cuma nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama semua orang, kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus janji sama gue kalo lo bakal jujur tentang persaan lo sama Alex. Janji?” lanjut Amel sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya Wina menolak. Amel terlalu baik baginya. Dia sendiri tau sampai saat ini Amel belum sepenuhnya melupakan Alex. Tapi Wina juga tak ingin mengecewakan Amel. Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Wina lirih.
"Persahabatan bukan
hanya sekedar kata,
yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci,
yang ditoreh diatas dua hati,
ditulis dengan tinta kasih sayang,
dan suatu saat akan dihapus dengan tetesan darah dan mungkin nyawa"..
**
“Key… sini dech cepetan, aku ada sesuatu buat kamu”, panggil Nayra suatu
sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau aku gak bisa
melihat”, jawab seorang gadis yang dipanggil Key dari balik pintu.
Keynaya Wulandari, begitulah nama gadis tadi, meskipun lahir dengan
keterbatasan fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menjalani
bahtera hidup tak pernah padam. Lahir dengan kondisi buta, tidak
membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak bisa melihat
warna-warni dunia, tapi mata hatinya bisa melihat jauh ke dalam
kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, dengan
keterbatasannya, Key selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia
menyerah.
Duduk di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya,
Keynaya tidak pernah absen meraih peringkat dikelas, bahkan guru-gurunya
termotivasi dengan sifat pantang menyerah Key. Sejak baru berusia 3
tahun, Keynaya sudah bersahabat dengan anak tetangganya yang bernama
Nayra Amrita, Nayra anak seorang direktur bank swasta di kota mereka.
Nayra cantik, pinter dan secara fisik Nayra kelihatan sempurna.
***
Seperti sore ini, Nayra sudah nangkring di rumah Key. Dia
berbincang-bincang dengan Key, sambil menemani sahabatnya itu melukis.
“Key, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya,
biar semua orang tau bakat kamu”, kata Nayra membuka pembicaraan.
“Hah”, Key mendesah pelan lalu mulai bicara, “Seandainya aku bisa Nay,
pasti sudah aku lakukan, tapi apa daya, aku ini gak sempurna, seandainya
aku mendapat donor kornea, dan aku bisa melihat, mungkin aku bahagia
dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap Keynaya dengan
kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan anugrahnya kepadamu, sahabat,
pasti akan ada yang mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik
kamu,” timpal Nayra akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah menjadi halangan di dalam jalinan
persahabatan antara Nayra dan Keynaya, kemana pun Nayra pergi, dia
selalu mengajak Key, kecuali sekolah tentunya, karena sekolah mereka
berdua kan berbeda.
Sedang asik-asiknya dua sahabat ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Nayra
mengeluh,
“aduuh, kepala ku”
“Kamu kenapa Nay, sakit??” tanya Keynaya.
“Oh, ngga aku gak apa-apa Key, Cuma sedikit pusing saja”, ucap Nayra
sambil tersenyum.
“Minum obat ya Nay, aku gak mau kamu kenapa-napa, nada bicara Key
terdengar begitu khawatir.
“aku ijin pulang dulu ya Key, mau minum obat” ujar Nayra sambil
berpamitan pulang.
Di kamarnya yang terkesan sangat elegan, nuansa coklat mendominasi di
setiap sudut ruangan, Nayra terduduk lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama lagi usiaku di dunia ini?? Berapa lama lagi
malaikatmu akan menjemputku untuk menghadapmu?” erang hati Nayra.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan lalu dan tidak akan berumur
lama lagi sungguh menyakitkan bagi Nayra, usianya yang baru 18 tahun,
dengan segudang cita-cita yang dia inginkan, sudah pasti tak satupun
akan terwujud.
***
Pintu kamar Nayra tiba-tiba terbuka, seorang wanita cantik paruh baya
masuk lalu duduk disampingnya.
“Gimana rasanya sayang? Masih gak enak?? Kita ke dokter sekarang yuk!!!”
ujar wanita itu dengan lembutnya.
“ngga usah, ma, aku sudah enakan kok, aku cuma mau beristirahat saja”,
jawab Nayra dengan sopan.
“ya sudah kalau begitu, mama tinggal dulu ya, istirahat ya, Nak,” ujar
sang mama sambil mencium kening putri semata wayangnya.
“Makasih ma, aku selalu sayang mama,” lirih Nayra berujar.
Terus terang Nayra sudah tidak kuat menahan rasa sakitnya, tapi dia
berusaha menyembunyikan itu dari orang tuanya.
Di ruang keluarga, ibu Rita, duduk sambil menemani sang suami
sepulangnya dari kantor,
“Ma, Nayra kemana?? Kok papa gak melihatnya dari tadi?” tanya sang
suami.
“Nayra lagi istirahat pa, dia pusing dan mengeluh sakit dari tadi”,
jawab Rita.
“Sakit apa sebenarnya anak kita ma?? Kalau kita ajak ke dokter dia
selalu menolak, papa rasa ada yang dia sembunyikan dari kita, aku takut
penyakitnya parah,” dengan nada khawatir pak Artawan bicara dengan
istrinya.
“entahlah pa, mama juga bingung” ujar istrinya lagi.
***
Ternyata sakit yang dirasakan Nayra sore itu adalah pertanda dia akan
segera di panggil menghadap Tuhan, saat minta ijin untuk istirahat pada
mamanya, kesehatan Nayra benar-benar drop, dengan panik kedua orang tua
Nayra melarikan putrinya ke rumah sakit, setelah mendapat penanganan
oleh tim dokter, Nayra sedikit terlihat tenang, namun mukanya terlihat
pucat, sinar matanya terlihat begitu redup.
“Pak Artawan, bisa kita bicara sebentar di ruangan saya”, kata dokter
Gunawan, yang juga merupakan dokter pribadi keluarga Artawan.
“Baiklah dok, “ sambut pa Artawan.
Setelah pak Artawan dan ibu Rita duduk di ruangan dokter Gunawan, mereka
akhirnya mulai bicara,
“Maafkan saya sebelumnya pak, sebenarnya saya sudah tau penyakit yang
diderita putri bapak sejak 7 bulan lalu, tapi karena putri bapak
menyuruh saya merahasiakan penyakitnya kepada bapak dan ibu, saya gak
bisa berbuat apa-apa. Putri bapak terkena leukimia,” ujar dokter Gunawan
lirih.
Cukup lirih memang kata-kata dokter Gunawan, tapi mampu membuat jantung
pak Artawan dan istrinya berdetak lebih cepat dari biasanya,
“Apa?? Leukemia? Separah apa dok??” keras nada suara pak Artawan.
“sudah parah pak, umur Nayra tidak akan lama” sambung dokter kembali.
Setelah berbicara lama dengan dokter, air mata tak pernah berhenti
mengalir di pipi Rita. Dia begitu terpukul mendengar putrinya menderita
penyakit itu.
“udah, ma, jangan nangis terus, pengobatan Nayra akan diusahakan, kita
akan mengusahakan kesembuhannya, lebih baik kita berdoa, semoga Tuhan
memberikan jalan terbaik buat keluarga kita”, hibur pak Artawan.
“mari kita tengok Nayra!!” ajaknya lagi.
Memasuki ruangan perawatan, ibu Rita berusaha menyembunyikan air
matanya, dia tersenyum penuh kepedihan di samping ranjang putrinya,
“Mama, kenapa? Kok sedih begitu?” ujar Nayra lirih.
“Gak apa-apa sayang”, berbisik ibu Rita tak kuasa menahan air matanya.
“Maafkan Nayra, Ma, Pa, Nayra tak bermaksud membuat Mama dan Papa
terluka seperti ini, Nayra hanya tak ingin menyusahkan kalian” Nayra
berkata dengan terbata-bata.
Belum ada beberapa menit pak Artawan dan ibu Rita di kamar putrinya,
tiba-tiba Nayra kejang-kejang. Dengan panik pak Artawan memanggil dokter
Gunawan. Dokter Gunawan menangani Nayra lumayan lama, hingga akhirnya
dokter Gunawan keluar, muka beliau kelihatan sangat sedih.
“Bagaimana anak saya, dok?” tanya pak Artawan.
“Maaf pak, kami disini sudah berusaha yang terbaik, tapi Tuhan
berkehendak lain, Nayra sudah dipanggil menghadapNya” ucap dokter.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk”, teriak ibu Rita isteris,“ Nayra tidak
mungkin meninggal, Nayra masih hidup,” seluruh pengunjung rumah sakit
menoleh ke arah mereka.
“Pak, sebelum meninggal, Nayra menitipkan ini ke saya, ini buat bapak
dan ibu” imbuh dokter Gunawan sebelum mohon diri.
Sepeninggal Dokter Gunawan, pak Artawan dan istrinya membuka amplop
kecil dari Nayra, isinya ternyata surat.
“Mama, papa, maafin Nayra sudah membuat mama dan papa jadi sedih, Nayra
mohon sama mama dan papa, setelah Nayra meninggal, tolong berikan kornea
mata Nay untuk Keynaya, tapi jangan bilang itu dari Nayra sebelum
Keynaya benar-benar operasi dan bisa melihat lagi, dan satu lagi, mama
tolong kasih Keynaya surat yang Nayra simpan di laci meja belajar Nayra
yang amplopnya berwarna pink setelah Keynaya melihat nanti, dan surat
buat mama dan papa ada di dalam amplop biru di laci yang sama. Sekian
dulu Mama, papa, maaf kalau Nayra selalu ngerepotin kalian, Nayra sayang
kalian, big kis & hug.. muacch”..
Nayra Amrita
Selain sepucuk surat itu, ada lagi sebuah surat pernyataan pendonoran
kornea mata yang telah lengkap dengan tanda tangan Nayra. Hati orang tua
Nayra tersayat, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan selain memenuhi
permintaan terakhir sang anak.
***
Sementara itu, di rumah Keynaya, tampak gadis cantik itu tengah duduk
seorang diri di teras rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung,
“kemana si Nayra, sudah lebih dari 5 hari dia gak main ke sini, apa dia
baik-baik saja?” gumamnya.
“Ma, Nayra pernah kesini gak dalam beberapa hari ini?” tanya Keynaya ke
pada mamanya.
“Gak ada, Key, memang kenapa?” tanya sang mama.
“Gak apa-apa ma, aku ke rumah Nayra sebentar ya!!” Key meminta ijin ke
mamanya.
Tapi diluar dugaan, mama Keynaya melarangnya pergi.
“Jangan Key, kita harus ke rumah sakit sekarang juga, tadi mama
ditelepon sama pihak rumah sakit, katanya ada yang menyumbangkan
korneanya khusus untuk kamu,” dengan tutur kata yang lembut mamanya
menjelaskan.
“Yang bener, Ma? Key sudah dapat donor kornea?? Asik-asik, Key akan
segera bisa melihat wajah Nayra, Key bisa segera menggelar pameran
lukisan,” ucap Key berapi-api.
“Iya nak” jawab mamanya penuh kepedihan. “seandainya kamu tahu sayang,
Nayra tak mungkin ada disamping kamu lagi, Nayra sudah tenang dialam
sana, dan seandainya kamu tahu siapa orang yang mendonorkan korneanya
untuk kamu” kata ibu Rasti dalam hati.
Waktu berjalan begitu cepat, operasi cangkok kornea sudah dilaksanakan
dan sekarang adalah hari yang paling ditunggu-tunggu Keynaya, perban di
matanya akan di buka, tim dokter beserta kedua orang tua Key sudah ada
di ruangan Key. Sebelum perbannya di buka, Keynaya berujar,
“Ma, Pa, Nayra sudah datang?? Ku ingin sekali ada Nayra di sini pas aku
bisa melihat”
“belum sayang, Nayra masih diluar kota” pedih rasanya hati ibu Rasti
saat berujar.
Perban akhirnya di buka, samar-samar penglihatan Keynaya mulai melihat
warna, melihat sosok kedua orang tuanya, dia tersenyum, semakin lama
semakin jelas,
“Mama, papa aku bisa melihat kalian,” gembira sekali suara Keynaya.
***
Sudah 1 minggu semenjak Keynaya bisa melihat, hari ini dia memaksa
ibunya agar diperbolehkan melihat Nayra, mengujungi Nayra,
“Kata mama Nayra sudah ada di rumah, berarti Key boleh main donk Ma, Key
pingin ngajak Nayra jalan-jalan buat merayakan kesembuhan Key,”
“Iya, nak, mama sama papa temenin kamu ya!!”
Berbeda beberapa rumah antara Nayra dan Keynaya merupakan hal yang
membahagiakan, tidak perlu capek-capek bermacet-macet ria di jalanan
untuk mengunjunginya. Sesampai di rumah Nayra mereka disambut ramah oleh
keluarga Nayra yang kebetulan lagi ada di rumah.
“Selamat sore tante Rita’” sapa Keynaya dengan senyum sumringah.
Setelah di persilahkan duduk dan menikmati hidangan ala kadarnya,
Keynaya menanyakan keberadaan sahabat karibnya,
“mana Nayranya tante?? Kok gak kelihatan ada di rumah?”
“Nayranya… Nayra.. Nayra..” dengan terbata-bata ibu Rita menjawab.
“Nayra kenapa tante, kemana?? Nayra tidak apa-apa kan?” bertubi-tubi
Keynaya bertanya.
Ibu Rita tak kuasa menjawab, beliau meninggalkan tamunya di ruang tamu
dan berlari naik ke kamar Nayra, mengambil sepucuk surat yang dititipkan
Nayra untuk Keynaya. Ibu Rita kembali ke ruang tamu dengan sepucuk
surat di tangan,
“ini dari Nayra untuk kamu” ujarnya berlinang air mata kepada Keynaya.
Dengan tangan gemetar Keynaya membuka amplop berwarna pink yang cantik
itu, ada pita pink juga di sudut amplonya.
Dear Keynaya
“Keynaya sayang, sahabatku yang paling baik, apa kabar hari ini??
Baik-baik sajakah?? Sehat-sehat?? Semoga sehat ya!! Key, saat kau
membaca surat dari aku ini, mungkin aku sudah tak ada lagi di dunia ini,
tak ada di samping kamu, tak bisa menemani kamu bermain, bercanda dan
tertawa, maafkan aku ya Key.
Key sayang, sebenarnya aku ingin sekali cerita ke kamu tentang
penyakitku, tapi aku takut membuat kamu kepikiran terus, takut buat kamu
gelisah. Sebenarnya aku terkena penyakit leukemia, Key dan umurku tidak
akan lama lagi.
Key sayang, meskipun aku telah pergi dari sisi kamu, tapi rasa sayang
aku ke kamu tak akan pernah berubah, kamu sahabat terbaik di hidupku,
kamu tempatku berkeluh kesah, tempatku menumpahkan suka dan duka. Key,
ku tahu saat kau membaca ini, kau sudah bisa melihat indahnya dunia,
sengaja ku berikan mataku untuk kamu Key, hanya itu yang bisa aku
berikan, jaga mata itu seperti kau menjaga persahabatan kita.
Segitu dulu Key, maafkan aku karena harus pergi meninggalkanmu, terima
kasih karena sudah memberikan aku arti selama hidup di dunia. Sampai
ketemu suatu saat nanti Key, aku sayang kamu sahabatku.
Kiss and big hug my lovely friend, my best friend in my life….muaaachh…
Dariku yang selalu menyayangimu
Nayra Amrita
Air mata mengalir deras di pipi Keynaya,
“ini tidak mungkin” katanya lirih. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia
benar-benar tak percaya, sahabatnya sudah kembali ke pangkuan Tuhan,
Keynaya menatap selembar foto yang juga ada di dalam amplop surat tadi,
foto Nayra tersenyum manis ke arahnya, mata Nayra yang teduh, sekarang
ada padanya. Keynaya meminta agar kedua orang tua Nayra mengantarnya ke
kuburan.
Lumayan jauh dari rumah Nayra, kaki Keynaya lemah, tapi dia berusaha
mengikuti langkah kaki orang tuanya dan orang tua Nayra ke sebuah makan
yang begitu tertata rapi, taburan bunga masih segar, tanah pekuburannya
juga masih basah.
Sebuah Nisan yang begitu cantik dihadapan Keynaya, membuatnya semakin
terluka, jelas tersurat di batu nisan berwarna putih itu nama sahabat
karibnya.
“Nayra Amrita Artawan”
Lahir 8 Januari 1994
Wafat 14 April 2011
Berjongkok Keynaya membelai nisan itu, gerimis turun membasahi nisan,
semakin lama semakin deras, sederas airmata yang jatuh di pipi Keynaya,
“kenapa secepat ini kau tinggalkan aku, Nay?? Tega kamu?? Meninggalkan
aku seorang diri disini.” Nayra, terima kasih sayang, kau telah
memberikan aku sepasang mata untuk melihat dunia ini, terima kasih
karena telah mengajariku tentang ketulusan sebuah persahabatan, terima
kasih atas senyum termanis yang pernah kau hadirkan di hidupku” ucap
Keynaya sambil terisak lirih di atas nisan.
Tangan lembut ibu Rasti terulur ke arah putrinya,
“Bangun Key, sudah, ikhlaskan saja Nayra, dia sudah tenang di sana, dia
sudah berada di pangkuan Tuhan, yang harus kamu tahu, Nayra tak pernah
ingin kamu cengeng, kamu harus tetap semangat menjalani hidup kamu,”
bimbing ibu Rasti.
“iya ma, terima kasih, aku hanya sedih saja, tapi aku janji gak akan
cengeng lagi setelah hari ini”, kata keynaya.
Make Money at : http://bit.ly/best_tips
Make Money at : http://bit.ly/best_tips
Tidak ada komentar:
Posting Komentar